6

Bigmatch Persib Bandung vs Arema Indonesia

Setelah mengalahkan tuan rumah Persema 3-1 di Stadion Gajayana, Selasa 9 Maret 2010, Arema Indonesia hari ini berangkat ke Bandung untuk menyongsong bigmatch melawan tuan rumah Persib Bandung.

Sayang Arema Indonesia kehilangan satu pilar lini tengahnya saat dijamu tuan rumah Persib Bandung di Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Minggu (14/3) nanti. Hal ini menyusul absennya gelandang lincah, Ahmad Bustomi karena terakumulasi kartu kuning.Selama ini, Bustomi diketahui sebagai sosok sentral lini tengah Singo Edan. Dia menjadi seorang play maker dengan begitu jeli dan sigap sebagai otak permainan tim, sekaligus sebagai partner Esteban Gullien dan Chmelo Roman. Tidak salah, jika Arema lantas merasa kehilangan Bustomi ketika timnya menghadapi Persib yang punya lini tengah komplit digawangi Eka Ramdani dan Hariono. 
Sementara itu, bagi Bustomi sendiri, absen pada laga akbar melawan salah satu tim papan atas klasemen lainnya tersebut, tentunya sangat disayangkannya. Pasalnya, dia pasti gagal merasakan atmosfir persaingan sengit seiring kedua tim saling bertekad memenangi laga. Hanya saja, mantan pemain Persema ini justru hanya bertindak sebagai penonton pada laga nanti.

Sementara itu Persib Bandung berhasil naik ke posisi 4 besar setelah berhasil mengalahkan Bontang FC (BFC) 2-1, dalam pertandingan lanjutan Liga Super Indonesia (LSI) 2009/2010 yang dilangsungkan di Stadion Si Jalak Harupat Soreang, Kamis 11 Maret 2010.Semangat kemenangan atas Bontang akan semakin memberatkan misi Arema Indonesia memetik angka di Jalak Harupat.

Klik sini untuk melihat data perbandingan Arema Indonesia & Persib Bandung

Oiya, tanggal 14 Maret 2010 besok bertepatan dengan hari ulang tahun Persib loh...

Warna Biru adalah ciri khas Persib dan seluruh Viking & Bobotoh
Warna Biru juga warna Arema Indonesia dan Aremania.

Untuk Persib Bandung, kami Aremania mengucapkan :

Selamat Ulang Tahun ke 77, 
Salam Damai Satu Biru untuk Seluruh Supporter Viking dan Bobotoh. 

Wilujeung Milangkala Anu Ka 77
14 Maret 1933 – 14 Maret 2010

True Blue Brotherhood: Arema Persib

Selamat bertanding tanggal 14 Maret 2010. 
Junjung tinggi sportifitas dan kerukunan sesama supporter BIRU.

SATU BIRU DIANTARA HIJAU DAN ORANGE

disarikan dari berbagai sumber

0

Logo Tetangga, ternyata Pejuang asli Arek Malang!

''Saya Tidak Mau Menyerah, Bunuh Saya.!''


judul asli:
Patung Kadet Soewoko Inspirasi Logo Bonekmania dan LA Mania

Salah satu pahlawan kemerdekaan yang cukup dikenal di Lamongan yakni Kadet Soewoko. Dia dikenal dengan kisah perjuangannya yang sangat heroik ketika menghadapi agresi Belanda ke-II pada 1949.

Soewoko sebenarnya bukan asli Lamongan, tetapi kelahiran Desa Lumbangsari Kecamatan Krebet Malang pada 1928. Setelah lulus sekolah kadet di Malang, dia kemudian ditugaskan menjadi komandan regu I seksi I kompi I pasukan tamtama Kdm (Kodim) Lamongan.

Dia meninggal pada 9 Maret 1949 dalam suatu pertempuran yang sengit melawan tentara Belanda di wilayah Desa Gumantuk Kecamatan Sekaran. Berarti dia meninggal pada usia yang baru 21 tahun dan belum menikah.

Berdasarkan catatan sejarah Kodim 0812 Lamongan, kisah nyata yang heroik perjuangan Kadet Soewoko tersebut terjadi pada hari Minggu, 9 Maret 1949 menjelang siang. Ketika sedang beristirahat di sebuah langgar di Desa/Kecamatan Laren, regu Kadet Soewoko mendapat laporan penduduk kalau ada truk tentara Belanda yang terperosok di parit wilayah Desa Parengan (dulu masuk Kecamatan Sekaran, sekarang masuk Kecamatan Maduran). Truk tersebut mengangkut 12 serdadu Belanda.

Saat itu anggota regu Soewoko berjumlah delapan orang, namun hanya memiliki 7 senjata api peninggalan Jepang. Mereka kemudian sepakat akan menyerang tentara Belanda tersebut. Satu anggotanya bernama Soemarto ditinggal karena jumlah senjata hanya tujuh.

Regu Soewoko kemudian naik perahu dan menyusuri tangkis Bengawan Solo sebelah utara menuju lokasi serdadu Belanda yang kemudian diketahui dari pasukan gajah merah. Para Belanda tersebut melepas bajunya dan hanya memakai halsduk (kacu leher) warna merah.

Regu Soewoko kemudian merayap melewati kebun bengkowang mendekati lokasi Belanda yang berada di tempat terbuka di tengah sawah tersebut. Mereka sepakat akan menyerang dengan tembakan salvo kalau sudah sampai jarak tembak yang tepat.

Begitu mendekati sasaran tembak, tiba-tiba datang truk power wagon berisi penuh serdadu Belanda untuk membantu truk yang terperosok parit itu. Sehingga kekuatan Belanda menjadi berlipat sekitar 37 orang.

Meski kekuatan lawan berlipat, ternyata regu Soewoko tidak nyiut nyalinya. Mereka tetap melakukan serangan gencar. Beberapa serdadu Belanda langsung terjungkal ditembak regu Soewoko.

Serdadu Belanda panik dan melakukan perlawanan memakai senjata yang lebih lengkap dan modern. Regu Soewoko menjadi terdesak. Mereka kemudian berencana mundur. Tetapi upaya tersebut tidak bisa dilakukan, karena diam-diam sebagian serdadu Belanda melakukan taktik penghadangan dengan bergerak memutar ke belakang regu Soewoko. Merasa terkepung, Soewoko memutuskan menerobos kepungan musuh meuju Desa Gumantuk Kecamatan Sekaran.

Dua orang anggota regu berhasil menerobos kepungan musuh, satu orang pura-pura mati dan nahas bagi Soewoko yang tertembak kedua bahunya dan tergeletak tidak mampu melakukan perlawanan.

Beberapa serdadu Belanda kemudian mendekati dan menanyakan namanya dengan bentakan. Soewoko pada saat itu mengaku bernama Soewignyo. Dia kemudian diajak ikut ke pos Belanda di Sukodadi tetapi tidak mau. Dia bahkan berkata ''Saya tidak mau menyerah, bunuh saya..!. Serdadu Belanda marah, kemudian menusuk dada kiri Soewoko dan ditembak pipinya sehingga langsung gugur. Dia bersama tiga anggota regunya yang lain yang gugur dalam pertempuran itu langsung dimakamkan oleh warga setempat di desa itu tanpa dimandikan karena dinilai mati syahid. Adegan heroik itu disaksikan anggota regunya yang pura-pura meninggal. Jenazah Kadet Soewoko bersama tiga temannya tersebut kemudian dipindah ke taman makam pahlawan Kusuma Bangsa Lamongan.

Kisah heroik Kadet Soewoko tersebut kemudian diabadikan dengan dibangunnya patung Kadet Soewoko pada 1975 dan kata-katanya terakhir juga dipahatkan di patung tersebut. Patung itu terletak di pintu masuk Kota Lamongan sebelah timur. Salah satu jalan protokol di Kota Lamongan juga diberi nama Jalan Soewoko. ''Empat anggota regu Kadet Soewoko yang yang masih hidup, kemudian bertugas ke luar Lamongan, ada yang di Bandung, Jakarta, dan Malang,'' kata Pasi Teritorial Kodim 0812 Lamongan, Kapten Arh GN Putu Ardana.

Wajah Kadet Soewoko ternyata kemudian juga menjadi inspirasi logo group suporter Bonekmania Persebaya Surabaya dan LA Mania Persela Lamongan. Kalau Bonekmania memakai ikat kepala, sedangkan untuk LA Mania memakai blangkon. ''Logo Bonekmania dan LA Mania tersebut dibuat oleh warga Lamongan bernama Ridwan, warga keset dekat patung Kadet Soewoko. Gambarnya sebagai pemenang dalam lomba pembuatan logo bonekmania yang digelar Jawa Pos sekitar 1986, begitu pula dengan LA Mania. Dia membuat gambar logo tersebut memakai inspirasi wajah patung Kadet Soewoko tersebut,'' ungkap ketua LA Mania, Ainy Hidayat.

Dayat menambahkan, dulu setiap tahun digelar napak tilas Jadet Soewoko setiap menjelang 17 Agustus, tetapi sayang, sejak 1992 kegiatan tersebut tidak pernah digelar lagi.

 sumber; http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=108649
foto diambil dari: http://lamongan-kota.blogspot.com/2009/04/sejarah-singkat-pejuang-kadet-soewoko.html

0

Ramalan Joyoboyo

 Iseng2 ngutak ngatik Ramalan Joyoboyo
semoga benar menjadi kenyataan bagi Arema Indonesia. :-)

ramalan Joyoboyo (1135 – 1157), bait 173

nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.

terjemahan dalam bahasa indonesia==>>

(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)

kalau dikait2kan dengan Arema Indonesia & Aremania==>>

-menyerang tanpa pasukan; serangan dari teriakan supporter Aremania.
-bila menang tak menghina yang lain; sepertinya Aremania perlahan-lahan sudah masuk area ini.
-rakyat bersuka ria; Aremania bersukacita.
-karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; PSSI memble aje.
-raja menyembah rakyat; victory lap pelatih & punggawa Arema Indonesia.
-bersenjatakan trisula wedha; Along, Fachrudin, Ridhuan.
-para pendeta juga pada memuja; wong meneng yo seneng nang Arema.
-itulah asuhannya Sabdopalon; mosok meneer Trebor ker? whahahaha....
-yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; Arema pernah kena sanksi, tapi kini termasyhur.
-segalanya tampak terang benderang; menang banyak, kalah dikit.
-tak ada yang mengeluh kekurangan; Aremania beli tiket, pake duit.
-itulah tanda zaman kalabendu telah usai; masa hukuman udah habis.
-berganti zaman penuh kemuliaan; zaman Aremania anti rasis no anarkis.
-memperkokoh tatanan jagad raya; mengharumkan nama Indonesia
-semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi; Semoga benar tahun ini Arema Indonesia jadi JUARA.


Salam Satu Jiwa!

picture token from: http://kingsrowe.com/officialblog/wp-content/uploads/2009/08/question-mark-button-thumb3049741.jpg

0

Arema Indonesia Ngamuk!


video dari vivanews

foto koran di comot tanpa ijin dari twitter @nopek200

0

Sejarah Aremania dan Bonek

Judul Asli: Sepakbola, Kapitalisme, dan Konflik Sosial: Sejarah Perseteruan Aremania dan Bonek
Ditulis Oleh Cak Faris . 29 January 2010

Pendahuluan
Hari ini persepakbolaan nasional sudah mulai menapak maju, dimana setiap klub sepakbola yang ada dibawah naungan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dibina untuk lebih profesional. Bentuk profesionalitas itu oleh PSSI dituangkan dalam format baru Liga Indonesia, dimana sejak tahun 1994 kompetisi yang sebelumnya terbagi dua disatukan dalam konsep Liga Indonesa dengan kasta tertinggi terletak pada Divisi Utama. Setelah berganti-ganti konsep dan format kompetisi, akhirnya pada tahun 2008 Divisi Utama Liga Indonesia berubah menjadi Indonesian Super League. Proses pembinaan kompetisi beserta klub-klub yang ada didalamnya diharapkan mampu membuat iklim sepakbola di Indonesia menjadi lebih modern dan mampu menelurkan bibit-bibit baru pemain asli Indonesia yang lebih berkualitas.

Kemajuan persepakbolaan nasional tentu harus diikuti oleh komunitas suporter yang menjadi basis pendukung sebuah klub sepakbola. Karena adalah sebuah omong kosong apabila sebuah klub sepakbola itu mampu bertahan tanpa dukungan suporter yang ada dibelakangnya. Tetapi sayangnya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya persepakbolaan Indonesia dikenal akan kerusuhan dan permainan yang menjurus kasar. Kerusuhan demi kerusuhan, entah itu akibat ketidakdewasaan suporter atau provokasi ofisial pertandingan kepada suporter menjadi cerita lama dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Konflik Jakarta-Bandung, Semarang-Jepara, Jogja-Solo, dan Malang-Surabaya menjadi cerita pasti mengenai aroma panas dalam konflik suporter di Indonesia.

Belum dewasanya suporter di Indonesia tentu menjadi penghambat bagi pengembangan profesionalitas klub-klub di Indonesia. Aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum suporter menjadi salah satu faktor lambatnya pengembangan profesionalitas klub Indonesia. Belajar dari kasus rasisme Aremania beberapa saat yang lalu tentu menjadi sebuah pelajaran berharga bagi seluruh elemen suporter yang ada. Kerugian sebesar hampir 1 miliar rupiah bagi Arema tentu menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Arema yang merupakan klub profesional tanpa dukungan dana APBD tentu kesulitan membayar gaji pemain dan lainnya. Padahal skala permasalahan baru sekitar denda dan hukuman, belum pada level anarkisme tingkat tinggi seperti perusakan stadion dan beberapa fasilitas, kerusuhan antar-suporter, hingga aksi-aksi kejahatan yang melibatkan komunitas suporter.

Salah satu pertarungan suporter yang paling sering disorot oleh media massa adalah rivalitas Aremania dan Bonek. Dua elemen suporter dari Arema Indonesia  dan Persebaya Surabaya ini memiliki tensi rivalitas yang sangat tinggi, dimana perseteruan antar kedua elemen suporter ini tak jarang berakhir dengan bentrokan, kerusuhan, kerusakan material, hingga jatuhnya korban jiwa. Ekspresi saling benci keduanya juga tertumpah ketika mendukung kesebelasan masing-masing, walaupun yang dihadapi adalah tim sepakbola selain Arema Indonesia atau Persebaya Surabaya.

Konflik Aremania melawan Bonek sudah menjadi cerita lama dalam diskusi antar-suporter di Indonesia. Pertarungan yang sudah mendarah-daging dalam kedua elemen suporter tersebut menjadi bumbu pedas dalam forum antar-suporter. Walaupun belum ada yang pernah memfilmkannya layaknya film Romeo-Juliet, tetapi aroma panas selalu terasa dalam kehidupan sehari-hari warga Malang dan Surabaya. Tidak jarang ditemui di rumah seorang Aremania segala atribut Bonek menjadi kain lap, sementara di Surabaya segala atribut Aremania menjadi keset.

Aroma panas kedua elemen ini tentu menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut, karena sifat persaingannya yang begitu kental dan sudah mendarah-daging. Belum lagi pembentukan iklim sepakbola Indonesia ke arah modern tentu harus mewaspadai satu hal yang kini masih menjadi kontroversi: industri sepakbola. Modernisasi sepakbola secara tidak langsung membawa dunia sepakbola ke arah industri, dimana pada akhirnya kapital juga ikut bermain dalam menentukan suasana dan atmosfir sebuah pertandingan. Bukan tidak mungkin beberapa peristiwa yang berkaitan dengan sepakbola Indonesia hari ini berkaitan erat dengan suasana pasar ekonomi.

Selain dari perspektif industri sepakbola, tentu konflik-konflik yang timbul juga tidak luput dari permasalah sosial dan budaya dalam sebuah masyarakat. Masalah hegemoni dan pengakuan akan ‘the one and the best’ juga menjadi salah satu permasalah konflik suporter Indonesia. Persoalan chauvinisme dan fanatisme dalam sebuah masyarkat juga tidak dapat dihilangkan sebagai faktor-faktor pemicu konflik. Belum lagi soal dendam yang berasal dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Begitu banyak permasalahan yang timbul dalam masyarakat sehingga terbawa dalam kancah sepakbola membuat stadion masih belum menjadi tempat yang nyaman dalam menikmati pertandingan sepakbola.

Dengan mempelajari proses historis perseteruan kedua kelompok suporter ini diharapkan adanya pembelajaran serta solusi agar konflik-konflik yang terbangun menjadi sportif dan tidak anarkis. Pengkajian akan sebuah konflik dengan memandang dari perspektif sosiologi –dimana masyarakat dan kondisi kultural akan menjadi objek yang dikaji– diharapkan akan timbul sebuah mediasi entah itu berupa negoisasi atau yang lainnya. Dengan begitu posisi suporter sebagai sebuah pendukung klub akan terjadi hubungan timbal balik dengan klub yang didukung. Selain itu diharapkan pula perdamaian antar-suporter sepakbola yang ada di Indonesia dapat terjadi.



Sejarah Aremania dan Rivalitas dengan Bonek      
Tahun 1988 lahirlah Yayasan Arema Fans Club (AFC) yang didirikan oleh Ir. Lucky Acub Zaenal. Yayasan ini hadir sebagai basis kelompok suporter dari Yayasan PS Arema yang didirikan setahun sebelumnya. Tahun pertama AFC berdiri dipimpin oleh Ir. Lucky Acub Zaenal dengan 13 korwil  (koordinator wilayah) yang ada dibawahnya. Keberadaan AFC yang begitu formal dan eksklusif membuat kalangan suporter yang berasal dari kelas bawah tidak mampu menjangkau organisasi tersebut. AFC sendiri pada akhirnya belum mampu menciptakan kerukunan antar-suporter di Malang, sehingga harus dibubarkan pada tahun 1994.

Kondisi chaos dalam kota, dimana sering terjadi perselisihan antar-geng yang berlanjut ke dalam stadion membuat kota Malang menjadi sepi di kala Arema bertanding. Banyak toko-toko dan warung-warung tutup, bahkan hingga mengunci pintu dan jendela. Beberapa narasumber bahkan menceritakan bahwa ketika itu seorang suporter membawa batu, pentungan, dan golok adalah hal biasa . AFC yang belum mampu menyatukan elemen-elemen suporter yang ada di Malang akhirnya membubarkan diri. Menjelang bubarnya AFC, beberapa suporter sepakbola Malang berkumpul dan mendiskusikan mengenai Aremania. Beberapa nama seperti Handoko, Yuli Sumpil, Ovan Tobing, Leo Kailola, dan Lucky Acub Zaenal yang merupakan pentolan dari beberapa kelompok suporter PS Arema di Malang berkumpul dan mengambil keputusan bahwa Aremania didirikan dalam sebuah organisasi non-formal (tanpa bentuk) tetapi terus menjaga persatuan dan sportivitas. Sehingga sejak saat itu tidak ada ketua resmi dari Aremania.

Ketiadaan ketua bukan berarti menimbul perpecahan dalam Aremania. Kultur masyarakat Malang yang egaliter membangun kebersamaan dalam ketiadaan struktur organisasi tersebut. Prinsip “sama rata, sama rasa, satu jiwa” yang dimiliki oleh warga Malang menjadikan Aremania menjadi kelompok suporter yang memiliki kekompakan dan persatuan yang kuat. Rasa egaliter pula yang membuat Aremania kompak dan mudah dikendalikan oleh Yuli dan Kepet, dirigen Aremania saat ini.

Titik balik Aremania terjadi pada tahun 1993, pasca PS Arema menjuarai kompetisi Galatama PSSI. PS Arema yang pada tahun-tahun sebelumnya belum memiliki begitu banyak pendukung, mendapatkan perpindahan pendukung begitu banyak dari Ngalamania. Kedewasaan arek Malang akan dampak negatif dari anarkisme membawa dampak positif bagi perjalanan Aremania selanjutnya. Aremania lalu mempelopori untuk selalu hadir mengawal pertandingan Arema di kandang lawan. Dimulai dari Cimahi pada tanggal 31 Mei 1995, Aremania selalu mengikuti kemanapun Arema pergi dan mendukung sembari menularkan virus suporter damai kepada elemen-elemen suporter lawan.

Bulan Mei 1996 Aremania berani untuk melakukan lawatan ke stadion ‘musuh abadi’ untuk mendukung Arema dan menularkan virus perdamaian ke Bonek yang menjadi elemen suporter Persebaya. Aremania datang dengan pengawalan dari DANDIM Kota Malang pada pertandingan yang disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur, dimana mereka menunjukkan eksistensi perdamaian yang dibawanya. Stadion Tambaksari yang dikenal ‘biadab’ karena jarangnya suporter lawan yang berani memasuki stadion tersebut akibat tekanan, intimidasi, kerusuhan, dan provokasi Bonek menjadi saksi eksistensi Aremania .


Rivalitas Malang Surabaya
Berbicara masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di Jawa Timur ini, maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur sosial masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana pembangunan-pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga zaman Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat bagi kota ini. Kemajuan yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk menyaingi kota metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka. Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo .

Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya. Arek Suroboyo sudah lama memiliki sifat bondho nekat, dimana pernah mereka aplikasikan dalam upaya melawan tentara sekutu dalam pertempuran 10 November 1945. Sifat bondho nekat yang masih menjadi kultur masyarakat Surabaya modern juga terbawa dalam sepakbola. Pada akhirnya, bondho nekat ini menjadikan suporter Surabaya saat itu terkesan brutal dan anarkis, seperti halnya Hooligans di daratan Eropa.

John Psipolatis pernah menyinggung akan perbedaan ‘suporter brutal’ dan ‘hooligan’ dalam kajiannya tentang sepakbola Indonesia. Ia menyatakan bahwa untuk di Indonesia lebih sesuai dengan sebutan ‘suporter brutal’, karena mereka datang ke stadion untuk menikmati pertandingan dan sesudahnya membuat onar. Sementara ‘hooligan’ belum pantas disandang oleh suporter di Indonesia karena Hooligan datang dengan niat untuk membuat kerusuhan tanpa menikmati pertandingan sepakbola.

Konflik dalam hal sepakbola dimulai sejak tahun 1967, dimana terjadi kerusuhan dalam pertandingan Liga Perserikatan antara Persebaya Surabaya melawan Persema Malang di Surabaya. Kondisi ini dibalas oleh arek-arek Malang dalam pertandingan Persema Malang melawan Persebaya Surabaya di Malang. Akhirnya, konflik suporter yang merupakan pertarungan geng Malang-Surabaya ini terus berlanjut pada tahun 70’an. Periode 80’an menjadi puncak ketegangan antara Bonek dan Ngalamania, dimana tahun 1984 terjadi ‘Perang Badar’ antara Ngalamania dengan Bonek. Peperangan yang terjadi antara Arek Malang dan Arek Suroboyo itu membuat Presiden Soeharto kala itu menyikapinya dengan ucapan “kalau sepakbola membuat persatuan hancur, lebih baik tidak usah”.

Rivalitas Bonek – Aremania
Berdirinya Armada 86 hingga berevolusi menjadi PS Arema pada tahun 1987 membuat konflik semakin memanas. Dalam kompetisi Perserikatan, Persema dan Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar-suporter di Jawa Timur. Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama, suhu itu kian memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya. Semifinal Galatama tahun 1992 yang mempertandingkan PS Arema Malang melawan PS Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan awalan baru sejarah konflik Aremania-Bonek. Arek Malang (saat itu belum bernama Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca kekalahan Arema Malang dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu akhirnya mengangkut mereka dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari kerusuhan dengan Bonek.

Kejadian di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di Surabaya. Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik. Peristiwa ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan lawatan ke Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM. Keberanian Aremania untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya melawan Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat kata-kata saja. Hal ini karena pertandingan tersebut disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur saat itu, serta pengawalan ketat DANDIM kota Malang terhadap Aremania. Bagi Aremania, hal ini sudah sangat mempermalukan Bonek dengan datang langsung ke jantung pertahanan lawan sembari menunjukkan kesantunan Aremania dalam mendukung tim kesayangan. Semenjak itulah tidak ada kata damai dari Bonek kepada Aremania, dan Aremania sendiri juga menyatakan siap untuk melayani Bonek dengan kekerasan sekalipun.

Kejadian ini dibalas oleh Bonek di Jakarta pada tahun 1998. Tanggal 2 Mei 1998 dimana Aremania akan hadir dalam pertandingan Persikab Bandung vs Arema Malang, Aremania yang baru turun dari kereta di Stasiun Jakarta Pasarsenen diserang oleh puluhan Bonek. Ketika itu rombongan Aremania yang berjumlah puluhan orang menaiki bus AC yang sudah disiapkan oleh Korwil Aremania Batavia. Di tengah jalan, belum jauh dari Stasiun Pasarsenen tiba-tiba bus yang ditumpangi Aremania dihujani batuan oleh Bonek. Untuk menghindari jatuhnya korban, rombongan Aremania langsung turun dari bus untuk melawan Bonek yang menyerang mereka. Bahkan Aremania sampai mengejar-ngejar Bonek yang ada di Stasiun Pasarsenen. Tindakan Aremania ini mendapat applaus dari warga setempat, sehingga Bonek harus mundur meninggalkan area Stasiun Pasarsenen.

Kondisi rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat keduanya menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok suporter tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema dan Persebaya. Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda Jatim bersama kedua pemimpin kelompok suporter tersebut ditandatangani di Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999. Semenjak tahun 1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.

Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya. Tragedi Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih adanya permusuhan kedua elemen ini. Kala itu pertandingan antara tuan rumah Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion Delta Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII. Karena dekatnya jarak Surabaya-Sidoarjo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan tersebut. Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania. Kondisi ini membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek dengan aparat. Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan lemparan balasan ke arah Bonek. Aremania pun harus dievakuasi keluar stadion dengan truk-truk dari kepolisian.

Kejadian rusuh yang berkaitan antara Aremania dengan Bonek masih berlanjut pada tahun 2006. Kekalahan Persebaya Surabaya atas Arema Malang di stadion Kanjuruhan dalam laga first leg Copa Indonesia membuat kecewa Bonek di Surabaya. Seminggu kemudian, kegagalan Persebaya Surabaya mengalahkan Arema Malang di stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya membuat Bonek mengamuk. Laga yang berkesudahan 0-0 ini harus dihentikan pada menit ke-83 karena Bonek kecewa dengan kekalahan Persebaya dari Arema Malang. Kekecewaan ini mereka lampiaskan dengan merusak infrastruktur stadion, memecahi kaca stadion, dan merusak beberapa mobil dan kendaraan bermotor lain yang ada di luar stadion. ANTV yang menayangkan pertandingan tersebut meliputnya secara vulgar, bahkan berkali-kali menunjukkan gambar rekaman mengenai mobil ANTV yang dirusak oleh Bonek. Aremania menyikapi hal ini dengan menyerahkannya secara total kepada pihak berwajib dan PSSI.

Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Lagu-lagu yang menyebutkan Arewaria, Arema Banci, Singo-ne dadi Kucing, dan beberapa lagu lain kerap mereka nyanyikan di Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aremania, dimana lagu-lagu anti-Bonek juga mereka kumandangkan kala Arema menghadapi tim lain di Stadion Kanjuruhan. Bahkan persitiwa terbaru adalah tersiarnya kabar mengenai dikepruknya mobil ber-plat N ketika malam tahun baru di Surabaya oleh pemuda berkaos hijau (oknum Bonek?).

Atmosfir Malang – Surabaya
Seperti yang ditulis oleh Feek Colombijn dalam View from The Periphery: Football in Indonesia, dimana ia menyebut bahwa dinamika suporter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kultur Jawa yang mengutamakan keselarasan dalam harga diri, dimana penolakan yang amat sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri, menjadi faktor utama konflik antar suporter di Indonesia. Kultur Jawa yang menghindar dari konflik dan tidak mau dipermalukan menjadi semacam dari anti-thesis dari sepakbola yang harus siap sedia untuk dipermalukan. Tetapi kultur Jawa pula yang memicu reaksi apabila penghinaan itu terjadi di depan umum dan sangat memalukan, maka ekspresi kemarahan dan anarkisme yang muncul untuk menjaga wibawa dan harga diri.

Kondisi ini yang memicu atmosfir panas Malang–Surabaya. Geng pemuda asal Malang yang dibantai oleh Bonek di tahun 1967 memicu perasaan dendam dari Arek Malang. Belum lagi persoalan rivalitas “number one”, dimana dalam level propinsi posisi Malang masih dibawah Surabaya. Sifat tidak terima Arek Malang menjadi nomor dua dibawah Arek Suroboyo ini membuat keduanya susah berjabat tangan. Persaingan atas dasar pride ini berlanjut pasca melorotnya prestasi Persema Malang, dimana Arema mengambil alih posisi rivalitas Malang-Surabaya tersebut.

Pergulatan harga diri ini terlihat jelas ketika Aji Santoso pindah dari Arema ke Persebaya, akhirnya Aji Santoso pun dianggap pengkhianat oleh Aremania. Ketika Aji Santoso ingin kembali ke Malang, ia pun harus melalui begitu banyak tim sebelum akhirnya mengakhiri karirnya bersama Arema Malang. Ahmad Junaedi pun menjadi korban rivalitas Aremania-Bonek. Ketika Ahmad Junaedi sudah menjadi bintang sepakbola nasional dan dibeli Surabaya, maka ketika Persebaya menawarkan Ahmad Junaedi untuk kembali ke Arema pun ditolak oleh Aremania. Akhirnya Arema pun lebih memilih untuk mengasah bakat Johan Prasetyo daripada memakai tenaga Ahmad Junaedi . Dalam hal simbol pun tantangan kepada Bonek juga dikumandangkan. Dengan pemilihan simbol singa menunjukkan bahwa di belantara Jawa Timur Arema ingin menjadi nomor satu, diatas Ikan Sura dan Buaya.

Arema menjadi identitas resistensi daerah terhadap pusat (Surabaya) , dimana melalui dialek jawa timur dengan tatanan huruf yang dibalik pada osob kiwalan khas Malang seolah menunjukkan bahwa Arema menjadi identitas kultural masyarakat Malang. Selain itu Arema juga merupakan pemersatu warga kota Malang yang sebelumnya terpecah pada beberapa desa/wilayah/daerah. Arek Malang selalu berusaha membedakan dirinya dengan arek Suroboyo. Ketika arek Suroboyo itu bondho nekad, maka arek Malang itu bondho duwit. Ketika Bonek itu suka membuat kerusuhan, maka Aremania ingin menyebarkan virus perdamaian. Konflik identitas juga menjadi lahan rivalitas kedua kubu suporter besar Jawa Timur ini.


Kapitalisme Sepakbola
Secara disadari atau tidak, fanatisme dan pertarungan kedua elemen suporter ini menjadi makanan empuk bagi kapitalisme. Sepakbola boleh jadi hari ini tidak hanya berbicara masalah sportivitas dan kesehatan, tetapi juga merambah dalam dunia politik dan ekonomi. Industri sepakbola menjadi salah satu bisnis yang menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha kelas kakap hari ini, tentu dengan syarat mereka bisa mengendalikan iklim sepakbola itu sendiri.

Dalam hal konflik suporter di Jawa Timur, boleh jadi media massa menjadi provokator dalam berbagai peristiwa persepakbolaan di Jawa Timur. Sebagai contoh Jawa Pos misalnya, dimana secara eksplisit menyatakan keberpihakannya kepada Persebaya Surabaya. Dapat dimaklumi sebenarnya apabila melihat kantor redaksi yang berada di Surabaya serta posisi penting para pengurus Jawa Pos dalam kepengurusan Persebaya Surabaya. Dalam beberapa tulisan yang ada, Jawa Pos selalu menampilkan porsi lebih kepada Persebaya, bahkan tidak jarang dukungan kepada Bonek selalu mereka tuliskan dalam berita-beritanya.

PT Bentoel Prima Tbk yang pernah mengakuisisi Arema juga merasakan betul dampak menguntungkan bisnis sepakbola yang mereka bangun. Walaupun menghadapi hambatan begitu banyak dari pesaingnya , tetapi secara materiil PT Bentoel Prima Tbk mengalami keuntungan yang begitu besar dari sekedar pasang tulisan bentoel-arema di kaos para pemain Arema.

Bisnis sepakbola inilah yang sedang menguasai persepakbolaan modern hari ini. Di belahan dunia manapun, modernisasi sepakbola diikuti dengan berkembang pesatnya industri sepakbola. Dalam buku How Soccer Explains The World: An Unlikely Theory of Globalization, Franklin Foer menuliskan bahwa virus globalisasi telah merasuk kian dalam ke dunia sepakbola, dan faktor pride (kebanggaan/fanatisme) menjadi faktor ekonomi yang sangat menguntungkan bagi para kapitalis-kapitalis besar.

Kesimpulan
Modernisasi dalam sepakbola secara tidak langsung diikuti oleh berkembangnya kapitalisme dalam ranah sepakbola. Seolah-olah menjadi kapitalis adalah syarat mutlak untuk mengembangkan sebuah persepakbolaan dalam negeri. Melihat realitas di lapangan, bukan tidak mungkin hal diatas benar adanya. Karena ketika mengembangkan sepakbola tanpa sokongan dana yang kuat tentu akan membuat sebuah badan, klub, atau kompetisi menjadi rontok. Hanya saja kekhawatiran muncul ketika suporter sepakbola dijadikan obyek untuk mengkapitalisasi sepakbola tadi, dimana pada akhirnya suporter sepakbola juga yang dipermasalahkan.

Terkadang, berdasarkan perbincangan dengan kawan-kawan pemerhati sepakbola nasional, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di lapangan selalu diawali orang orang yang tidak jelas siapa pelakunya. Sebagai contoh ketika terjadi kerusuhan di Madiun, baik Aremania dan Laskar Sakera (pendukung Persekabpas Pasuruan) tidak tahu menahu siapa yang memulai melempari batu-batu ke arah penonton. Tetapi karena yang hadir di stadion saat itu adalah Aremania dan Laskar Sakera, tentu pada akhirnya bentrok fisik tidak dapat dihindari. Efek pasca kejadian hari itu adalah banyaknya toko-toko yang tutup di Madiun, image PT Bentoel Arema Tbk juga tercoreng, dan entah mengapa beberapa hari sesudahnya media massa begitu laku di pasaran.

Begitu pula yang terjadi saat kerusuhan Bonek di Stadion Gelora 10 November di Surabaya beberapa tahun lalu. Dimana mau tidak mau Aremania harus mengakui bahwa kemenangan PS Arema atas Persebaya Surabaya hari itu cukup kontroversial, ada kesan wasit memihak Arema. Kemenangan 2-1 untuk Arema pun harus dibayar mahal dengan perusakan stadion dan beberapa fasilitas umum beserta kendaraan pribadi oleh Bonek yang menonton hari itu.

Begitu banyaknya tangan-tangan tak terlihat yang bermain-main diatas konflik suporter tentunya harus diwaspadai oleh Aremania maupun Bonek. Jangan sampai begitu banyak orang mati sia-sia saat pertempuran kedua suporter tersebut ternyata hanya menjadi ‘mainan globalisasi’ oleh segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan didalamnya. Untuk itulah perlunya melihat kembali sejarah konflik antar kedua elemen suporter ini, supaya kejadian-kejadian negatif dapat diminimalisir dan era baru yang lebih damai dapat tercipta.

Kultur masyarakat Jawa yang melingkupi konflik Aremania-Bonek seharusnya bukan menjadi kambing hitam atas berbagai peristiwa yang terjadi. Sudah seharusnya dua elemen suporter yang sudah dikenal akan militansinya ini berdamai dan menciptakan suasana kondusif dalam persepakbolaan nasional. Sudah saatnya baik Aremania maupun Bonek untuk mendewasakan diri dengan melihat dari kacamata modernisasi dan sportivitas dalam mendukung tim kesayangannya. Tidak ada salahnya Bonek turut bergabung dalam usaha mewujudkan suporter Indonesia damai, sehingga mampu membuat suasana stadion begitu damai dan orang tidak perlu takut untuk menyaksikan secara langsung pertandingan sepakbola di tanah air.



“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama,”
Yuli Sumpil – Dirigen Aremania


Sumber :
http://cak-faris.blogspot.com/2010/01/sepakbola-kapitalisme-dan-konflik.html

0

Kado Valentine Aremania

Salam Satu jiwa!

Ibarat sebuah pohon, semakin tinggi pohon yang dipelihara Aremania, maka semakin kencang angin bertiup. Aremania terlahir tanpa noda, namun dalam perjalanannya aral dan onak seperti kerikil-kerikil yang dilalui di jalan tak beraspal. Salah satu kerikil tersebut adalah chaos dalam sebuah pertandingan bola.
Seperti halnya Aremania, selama dua dekade lebih berdiri memang telah memberi warna baru dalam dunia sepakbola tanah air. Nyaris, tidak ada event besar yang tidak memberi ruang gerak kepada Aremania. Ibaratnya, Aremania adalah bintang utama dari sebuah teater di gelaran sepakbola Indonesia.

Konflik pertamakali yang melibatkan nama Aremania adalah peristiwa Kerusuhan di Stadion Mandala Krida Jogjakarta yang terjadi pada 14 Februari 1999 silam. Terlepas dari faktor eksternal penyebab kerusuhan ini yang berupa provokasi dari pihak luar, issue yang berhembus dan lain sebagainya, ada banyak hal yang dapat kita ambil hikmah dari kejadian ini. Terlebih selama 10 tahun berikutnya peristiwa tersebut terulang dengan melibatkan Aremania kedalam pihak lain.
(dicuplik dari http://anak-negeri.blogspot.com/2009/02/refleksi-satu-dasawarsa-tragedi-jogja14.html)

Sekilas akan saya bagi sedikit pengalaman pribadi sebagai salah satu dari saksi hidup persitiwa tersebut.
----------------------------------------------------------------------
Sepertinya sudah jadi tradisi kalo setiap bulan februari, muda mudi seluruh dunia merayakan hari kasih sayang utowo valentine day. 11 tahun yang lalu, aku mencurahkan perasaan sayangku dengan merayakan hari valentine di Stadion Mandala Krida, mendukung Arema Malang (nama tim Arema Indonesia saat itu) melawan PSIM Yogyakarta. Kata Aremania, 99% untuk Arema, 1 % untuk ojob. Whahahaha….
Sekitar 30-an bis berisi Aremania berangkat malam dan nyampe di kota gudeg pagi hari 14 Februari 1999. Setelah istirahat sejenak di sekitar Prambanan, kami melanjutkan perjalanan menuju stadion. Seperti tanpa lelah teriak, kami bernyanyi lagu2 khas Aremania -yang jadi kebanggan kami karena waktu itu tidak banyak (kalo ga mau dibilang “belum ada”) supporter yang benar2 support dengan gerak dan lagu- selama mengantri masuk ke stadion. Waktu itu aremania ditempatkan di tribun VIP, karena harga tiket VIP di Mandala Krida waktu itu –kalau tidak salah- sama atau lebih murah dibanding dengan tiket ekonomi stadion Gajayana.
Masuk dengan tertib, kami menunggu kick-off babak pertama dengan setia. Mohon maaf, detil kejadian2 secara runtut waktu / kronologis, saya sudah lupa. Yang saya ingat, supporter tuan rumah kurang bisa menerima keberadaan kami. Pertandingan sangat seru karena partai itu adalah pertandingan penentuan untuk maju ke babak berikutnya.Keributan antar pemain akibat kekurangtegasan wasit memicu amarah para penonton. Pertandingan sempat dihentikan beberapa kali. Saya ingat betul, seorang pemain cadangan arema yang bertubuh biasa (lupa namanya) sambil berlari bisa memukul rubuh seorang official PSIM yang bertubuh tinggi besar dengan sekali pukul. Suasana super panas
Kerusuhan terjadi. Suara kentongan di sekeliling stadion menemani kami bertahan di tengah lapangan yang tidak mungkin menyalakan lampu stadion sampai pagi. Suasana gelap sangat mencekam. Ketapel beramunisi batu dan kelereng dalam berbagai ukuran melayang ke tengah kerumunan aremania. Lumayan, satu dua kelereng mendarat dengan sukses di jidatku (ga ada yang berbekal helm waktu itu- whahahahhaa) dan beberapa teman lainnya. Sesekali rekan2 yang kelaparan mengembalikan amunisi ke pengirimnya dengan sisa-sisa tenaga. Untung kanjeng sultan meredakan emosi warga dan membagikan beberapa bungkus nasi yang memaksa aku untuk makan satu suap dari satu bungkus ke bungkus lain karena aku ga kebagian. (muwelas rek…)
Secara bertahap kami diangkut truk TNI. Beberapa teman yang beruntung bisa masuk bis mendapat kawalan ketat sepanjang perjalanan. Aku termasuk kloter terakhir keluar stadion, bersamaan dengan adzan subuh berkumandang. Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang dengan selamat meskipun dari stasiun prambanan sampai malang masuk di gerbong semen.
Yah, secuil kisah valentine day di jogja. Ga akan terlupakan.
-----------------------------------------------------------------------------
Jelang partai balas dendam 14 februari 2010 melawan persiba, Aremania borneo pasti punya semangat valentine yang sama dengan kami di jogja 11 tahun lalu. Mungkin juga ada pelaku sejarah di sana, siapa tau? Kapasitas stadion yang cuma 10.000 pasti akan penuh sesak oleh Balistik. Untunglah Aremania diberi jatah 150 tiket. Semoga 14 februari 2010 menjadi kemenangan berikutnya bagi Arema Indonesia setelah menenggelamkan tuan rumah PSM 0-2 di Mattoangin.
Dukungan doa dari aremania sejagadraya, melalui facebook, kaskus, atau milis di dunia maya mempererat hubungan batin dan memperkukuh jati diri bahwa Arema Indonesia dan Aremania adalah SATU JIWA. Bravo Arema Indonesia! Bravo Aremania!!
 --------------------------------------------------------

Head 2 Head Arema Indonesia vs Persiba

24-01-10 Super Liga    Arema Indonesia     1 - 2  Persiba Balikpapan
18-04-09 Super Liga     Persiba Balikpapan 2 - 1 Arema Indonesia
10-09-08 Super Liga    Arema Indonesia     2 - 0 Persiba Balikpapan
15-12-07 Divisi Utama  Arema Indonesia     3 - 0 Persiba Balikpapan
20-02-07 Divisi Utama   Persiba Balikpapan 1 - 1 Arema Indonesia
20-07-06 Divisi Utama  Arema Indonesia      3 - 0 Persiba Balikpapan
Sumber: http://www.soccerway.com/teams/comparison/?team_ids[]=3771&team_ids[]=3777

1

Abdul Haris vs Hinca Panjaitan

Ketua Panitia Pelaksana (panpel) Arema Indonesia Abdul Haris terancam dipidanakan. Koordinator Satuan Tugas Anti Suap (SAS) PSSI Bernhard Limbong mengatakan, hukuman yang dijatuhkan Komisi Disiplin (komdis) terhadap Abdul sudah bisa dijadikan bukti awal bagi aparat kepolisian.

Sebelumnya, Ketua Komdis Hinca Panjaitan mengatakan, Abdul Haris terbukti mencoba menyuap Komdis dan melakukan pencemaran nama baik. Untuk itu, Haris dihukum tak boleh aktif di persepakbolaan nasional selama 20 tahun. Hukuman tersebut diumumkan Hinca usai sidang Komdis di sekretariat PSSI, Kamis (4/2) malam.

Menyikapi hal tersebut, Limbong menegaskan hukuman yang dijatuhkan oleh Komdis tersebut tidak akan bisa memberikan efek jera terhadap pelaku penyuapan di lingkungan sepak bola Indonesia. Menurutnya, jalan terbaik adalah dengan membawa kasus tersebut ke jalur hukum positif. "Biar polisi yang mengusut dan membawa ke pengadilan. Dengan begitu, saya yakin anasir-anasir yang ingin merusak sepak bola Indonesia menjadi kapok," tegas Limbong yang berada di Jakarta saat dihubungi Media Indonesia, Jumat (5/2).

"Soal waktu pelaporan, saya belum bisa menentukan. Soalnya, SAS masih harus mematangkan kasus ini terlebih dahulu. Yang jelas, kami menargetkan dalam waktu dekat sudah bisa dibawa ke aparat kepolisian. Tidak hanya kasus Abdul Haris yang akan kami laporkan, tapi juga kasus-kasus lain yang memiliki indikasi sama dengan Abdul Haris," lanjutnya.

Ia mengakui kebijakan yang ditempuh SAS tersebut justru bisa menjadi bumerang bagi Ketua Komdis Hinca Panjaitan. Sebab, Hinca juga akan dipanggil oleh polisi untuk dimintai keterangan sebagai saksi. "Itu tidak masalah. Biar semua sama-sama jelas dan tidak bertepuk sebelah tangan. Kalau memang Hinca menganggap ada percobaan penyuapan, dia harusnya bisa menunjukkan bukti. Begitu pula sebaliknya. Kalau Abdul Haris merasa tidak pernah mencoba menyuap, dia bisa membuktikan hal tersebut," cetus Limbong yang juga anggota Komite Eksekutif PSSI

Judul Asli: Ketua Panpel Arema Terancam Dipidana
Posting: Jumat, 05 Februari 2010 12:11
Penulis : Irvan Sihombing
foto & artikel published @ MediaIndonesia.com

Lho? Hukuman pertandingan tanpa penonton kan dibatalkan... buktinya, pas lawan PSM, kanjuruhan biru...Kalo bener ada perubahan sanksi, dan kalau bener tudingan penyuapan ke pak haris, berarti penyuapan berhasil dong... ada penerima suap dong... (opini dengan logika sederhana). So, saya sangat setuju kalau kasus ini dipidanakan seperti usul Koordinator Satuan Tugas Anti Suap (SAS) PSSI Bernhard Limbong. Semoga kebenaran terungkap, demi sepakbola Indonesia yang lebih baik.

Salam Satu Jiwa!